PENGENDALIAN MUTU DAN PENERAPAN HACCP

 NAMA :DELA MUSTIKA
 NPM : 2016 31 003


PENGENDALIAN MUTU DAN PENERAPAN HACCP



A. PENGENDALIAN MUTU

1. Mutu adalah gabungan dari sejumlah atribut yang dimiliki oleh bahan atau produk pangan yang dapat dinilai secara organoleptik. Atribut tersebut meliputi parameter kenampakan, warna, tekstur, rasa dan bau (Kramer dan Twigg, 1983).  Menurut Hubeis (1994), mutu dianggap sebagai derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya. Mutu juga dapat dianggap sebagai kepuasan (akan kebutuhan dan harga) yang didapatkan konsumen dari integritas produk yang dihasilkan produsen. 
Berdasarkan ISO/DIS 8402-1992, mutu didefinsilkan sebagai karakteristik menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses, organisasi atau manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan (Fardiaz, 1997). Kramer dan Twigg (1983) telah mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu:  a. Karakteristik fisik atau karakteristik tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi, flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip b. Karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Mutu adalah kumpulan parameter dan atribut yang mengindikasikan atau menunjukkan sifat-sifat yang harus dimiliki suatu bahan atau produk pangan. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukana atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman. Pengendalian mutu merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sistematis, dan objektif dalam memantau dan menilai barang, jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan perusahaan atau institusi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan serta menyelesaikan masalah yang ditemukan dengan tujuan untuk memperbaiki mutu. Tujuan pengendalian mutu meliputi dua tahap, yaitu tujuan antara dan tujuan akhir. Tujuan antara pengendalian mutu adalah agar dapat diketahui mutu barang, jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan. Tujuan akhirnya yaitu untuk dapat meningkatkan mutu barang, jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan. Pengendalian mutu penting dilakukan untuk meningkatkan indeks kepuasan mutu (quality satisfaction index), produktivitas dan efisiensi, laba/keuntungan, pangsa pasar, moral dan semangat karyawan, serta kepuasan pelanggan.
2. Faktor yang Mempengaruhi Mutu Mutu dari bahan pangan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yang berasal dari bahan pangan maupun faktor yang berasal dari lingkungannya.
a.     Spesies

KENTANG DAN DAGING
Spesies tanaman, ternak atau ikan mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap bahan pangan yang berasal dari bahan hasil petanian tersebut. Spesies yang satu dapat diterima atau banyak diminta oleh konsumen dibandingkan spesies yang lain. Demikian pula harga spesies yang satu dapat lebih mahal bila dibandingkan spesies lainnya. Penerimaan konsumen terhadap bahan pangan dipengaruhi oleh kecocokan kenampakan, rasa, adanya tulang halus atau duri, tabu menurut agama, atau kebiasaan sosial. b. Ukuran 

    APEL UKURAN BESAR DAN KECIL
Ukuran bahan pangan dapat mempengaruhi mutu. Bahan pangan yang memiliki ukuran besar dianggap lebih bermutu dibandingkan dengan bahan pangan berukuran lebih kecil. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli bahan pangan berukuran besar lebih banyak dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan pangan sejenis namun memiliki ukuran relatif lebih kecil. Bahan pangan berukuran besar dianggap dapat memberikan cita rasa lebih baik, bagian yang dapat dimakan (edible part) lebih banyak, dan biaya penanganan per unit berat lebih murah. Ternyata tidak semua yang berukuran besar dianggap lebih bermutu. Ikan berukuran kecil lebih disukai sebagai bahan baku pembuatan baby fish karena dapat
dimakan semua, termasuk tulangnya. Contoh lain, untuk membuat sayuran cap cay lebih disukai jagung muda (baby corn) karena lebih manis dan mudah dikunyah.
e. Lokasi Lokasi budidaya atau penangkapan ikan maupun ternak akan berpengaruh terhadap mutu ikan atau ternak. Kondisi lingkungan seperti angin, gelombang, kondisi air, dan pola migrasi akan mempengaruhi jenis dan kelimpahan makanan ikan sehingga berpengaruh terhadap citarasa ikan.  f. Jenis kelamin dan masa perkawinan Ikan dan ternak memiliki jenis kelamin dan masa perkawinan. Jenis kelamin akan berpengaruh terhadap cita rasa dagingnya. Kepiting biru di Amerika yang berjenis kelamin jantan lebih disukai karena rasa dagingnya lebih enak. Kepiting Bakau lebih disukai yang berjenis kelamin betina, terutama yang masih memiliki telur. Masa perkawinan juga berpengaruh terhadap mutu daging ikan atau ternak. Hasil ikan yang diperoleh di daerah dimana sedang musim perkawinan, memiliki mutu lebih rendah dibandingkan ikan yang sama tetapi ditangkap di daerah lain. g. Organisme parasit Organisme parasit yang menyerang akan berpengaruh nyata terhadap mutu bahan pangan. Parasit dapat berupa bakteri, jamur, protozoa, serangga atau cacing. Bakteri dan jamur banyak menimbulkan kerugian karena kemampuannya merusak bahan pangan. Selain penampakan bahan pangan menjadi tidak menarik, serangan bakteri dan jamur sering disertai dengan timbulnya bau busuk. h. Kandungan senyawa racun  Kasus keracunan makanan sudah sering terjadi. Keracunan dapat disebabkan oleh tiga cara, yaitu kimiawi, biologis, dan mikrobiologis. Berdasarkan penyebabnya, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya keracunan makanan, yaitu racun yang berasal dari bahan pangan itu sendiri, cara pengolahan atau penyimpanan yang salah, dan pengaruh dari luar. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), penyakit yang timbul karena mengkonsumsi makanan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu infeksi makanan dan intoksikasi (keracunan makanan).  Infeksi adalah peristiwa dimana seseorang mengkonsumsi bahan pangan atau minuman yang mengandung bakteri patogen yang tumbuh dalam saluran usus dan menimbulkan penyakit. Contoh dari bakteri patogen tersebut adalah Clostridium perfringens, Vibrio dan parahaemolyticus, Salmonella. Keracunan lainnya dapat terjadi apabila mengkonsumsi makanan sayuran, daging atau ikan yang dikalengkan. Proses pengalengan atau cara penyimpanan yang kurang baik dapat memicu tumbuhnya Clostridium botulinum yang dapat menghasilkan racun perusak sistim saraf. 
Intoksikasi dapat terjadi karena mengkonsumsi bahan pangan mengandung senyawa beracun yang diproduksi oleh bakteri atau jamur. Peristiwa keracunan terjadi karena menelan bahan pangan yang mengandung racun. Beberapa jenis racun tidak dapat dirusak oleh proses pemasakan, sehingga orang yang mengkonsumsi bahan pangan tersebut akan tetap mengalami keracunan. Beberapa jenis bahan pangan yang berasal dari hewan maupun tumbuhan sudah mengandung zat beracun secara alami. Ada beberapa jenis ikan yang secara alami mengandung racun, baik karena keseluruhan badannya memang mengandung racun maupun bagian tertentu saja. Racun yang dikandung ikan tersebut dapat menyebabkan keracunan atau mengakibatkan kematian bagi yang mengkonsumsinya. Ikan yang secara alami beracun lebih dikenal dengan sebutan biotoksin, berbeda dengan ikan yang menjadi beracun karena terkontaminasi bahan kimia atau polutan. Ada tiga jenis biotoksin, yaitu ciguatera, puffer fish poissoning, dan paralytic shellfish poissoning.  Salah satu tumbuhan yang sering menyebabkan keracunan adalah jamur. Jamur Amanita muscaria mengandung racun muscarine yang akan menimbulkan gejala keracunan dua jam setelah termakan. Ciri keracunannya adalah keluar air mata dan air ludah secara berlebihan, berkeringat, pupil mata menjadi menyempit, muntah, kejang di bagian perut, diare, rasa bingung, dan kejang-kejang yang bisa menyebabkan kematian. 

CONTOH: Kentang yang Mengandung Solanin
Kentang hijau yang mengandung solanin dapat menyebabkan timbulnya kematian apabila kentang hijau tersebut dikonsumsi dalam jumlah besar. Mengkonsumsi sayur bayam yang sudah disimpan semalam juga tidak disarankan, sebab sudah mengandung racun kalium oksalat dalam jumlah tinggi. Tanaman lamtoro juga mengandung racun mimosin. Racun ini dapat menyebabkan pusing bila mengkonsumsi dalam jumlah banyak.
 i. Kandungan polutan  Sumber polutan dapat berasal dari lingkungan yang mencemari, penggunaan bahan-bahan kimia non pangan, dan penggunaan bahan-bahan yang memiliki efek samping mencemari. Sayuran dan buah-buahan cenderung tercemar bahan kimia, baik sebagai pengawet maupun racun pembasmi hama. Zat kimia ini bisa berupa arsen, timah hitam, atau zat-zat yang bisa menyebabkan keracunan. Penggunaan pestisida sebagai bahan pembasmi hama, menyebabkan sebagian masyarakat lebih menyukai sayuran yang terserang ulat. Menurut mereka, sayuran demikian tidak menggunakan pestisida secara berlebihan sehingga lebih aman untuk dikonsumsi. 
CONTOH: Formalin
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melarang penggunaan senyawa formalin sebagai pengawet bahan pangan. Senyawa formalin memiliki gugus CH2OH yang mudah mengikat air dan gugus aldehid yang mudah mengikat protein. Kerugian yang dialami apabila mengkonsumsi formalin antara lain menimbulkan kerusakan di lambung, bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker. j. Cacat 
CONTOH:  Tomat Yang Mengalami Cacat 
Beberapa bahan pangan memiliki penampilan cacat sehingga terlihat kurang menarik. Penampilan cacat ini dapat disebabkan oleh sifat genetis, faktor lingkungan,dan serangan organisme lain.
3. Penurunan Mutu Bahan Pangan  Setelah dipanen atau ditangkap, bahan pangan akan mengalami serangkaian proses perombakan yang mengarah ke penurunan mutu. Proses perombakan yang terjadi pada ikan dan ternak dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pre rigor, rigor dan post rigor mortis. Pre rigor adalah tahap dimana mutu dan kesegaran bahan pangan sama seperti ketika masih hidup. Rigor mortis adalah tahap dimana bahan pangan memiliki kesegaran dan mutu seperti ketika masih hidup, namun kondisi tubuhnya secara bertahap menjadi kaku. Hingga tahap rigor mortis, ikan dan ternak dapat dikatakan masih segar. Namun memasuki tahap post rigor mortis, proses pembusukan daging ikan telah dimulai. Ada tiga faktor yang mempengaruhi penurunan mutu bahan pangan, yaitu kerusakan fisik, kimia, dan biologis. a. Kerusakan Fisik  Kerusakan fisik yang dialami bahan pangan dapat disebabkan oleh perlakuan fisik, seperti terbanting, tergencet, atau terluka. Perlakuan tersebut dapat menyebabkan terjadinya memar, luka, dan adanya benda asing
 1) Memar 
  CONTOH : Memar pada Pir dan Ikan
Memar dialami oleh bahan pangan yang disebabkan karena dipukul terbanting atau tergencet. Buah-buahan yang bergesekan selama pengangkutan atau terjatuh selama pemindahan juga dapat menjadi penyebab terjadinya memar. Bahan pangan yang memar akan mudah mengalami proses pembusukan. Pada buah-buahan dan sayuran, bagian yang memar akan menjadi lunak dan berair. 
Pada ikan, bagian yang memar cenderung menjadi lunak dan kemerahan. Pada bagian daging ikan yang mengalami memar aktivitas enzim proteolitik meningkat sehingga akan mempercepat proses pembusukan. Enzim akan merombak karbohidrat, protein dan lemak menjadi alkohol, amonia, dan keton.
2) Luka 
CONTOH : Ikan yang Mengalami Luka
Bahan pangan dapat mengalami luka yang diakibatkan tusukan atau sayatan oleh benda tajam. Penggunaan pengait pada saat akan mengangkat ikan hasil tangkapan dapat menyebabkan luka pada ikan. Apabila tidak segera ditangani dengan benar, luka tersebut dapat menjadi jalan bagi mikroba pembusuk untuk memasuki bagian tubuh ikan dan merombak komponen di dalamnya.
3) Pemberian Perlakuan  Perlakuan yang diberikan, baik selama penanganan dan pengolahan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fisik bahan pangan. Perlakuan pemanasan yang diberikan dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi, yaitu menguapnya cairan dari bahan pangan. Pemanasan juga dapat menyebabkan komponen protein mengalami denaturasi yaitu berubahnya struktur fisik dan struktur dimensi dari protein. Suhu pemanasan yang dapat menyebabkan denaturasi protein adalah lebih besar dari 700 C.
4) Adanya Benda Asing  Pasir, isi hekter, rambut, kuku, patahan kaki serangga, ulat atau pecahan gelas adalah beberapa contoh benda-benda asing yang sering dijumpai saat akan menyantap makanan diwarung makan bahkan restauran. 
Kerusakan Kimiawi  Penurunan kandungan senyawa kimia pada bahan pangan dapat terjadi selama proses pencucian dan pemanasan. Selama berlangsung proses pencucian bahan pangan, banyak komponen senyawa kimia yang akan larut, seperti beberapa protein, vitamin B dan C, dan mineral.  1) Autolisis  Autolisis adalah  proses perombakan jaringan oleh enzim yang berasal dari bahan pangan itu tersebut. Proses autolisis terjadi pada saat bahan pangan memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang mengalami autolisis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis, sehingga apabila daging tubuhnya ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali ke keadaan semula. Bila proses autolisis sudah berlangsung lebih lanjut, maka daging yang ditekan tidak pernah
kembali ke posisi semula. Proses autolisis dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekelilingnya. Suhu  yang tinggi akan mempercepat proses autolisis ikan yang tidak diberi es.
2) Oksidasi  Ikan termasuk salah satu bahan pangan yang banyak mengandung lemak, terutama lemak tidak jenuh. Lemak tidak jenuh adalah lemak yang mengandung ikatan rangkap pada rantai utamanya. Lemak demikian bersifat tidak stabil dan cenderung mudah bereaksi. Lemak pada ikan didominasi oleh lemak tidak jenuh berantai panjang (Polyunsaturated fatty acid/ PUFA). 
CONTOH :. Minyak Goreng Teroksidasi 
Produk tanaman yang diketahui mengandung lemak tinggi cukup banyak, seperti kelapa, kelapa sawit, bunga matahari, wijen, jagung. Pada ternak, kandungan lemak dapat diketahui dari banyaknya gajih pada daging. Selama penyimpanan, lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuk senyawa peroksida. Peristiwa yang sama dapat terjadi pada bahan pangan yang mengandung susu atau santan. 3) Browning  Bahan pangan yang banyak mengandung karbohidrat adalah produk nabati. Kandungan karbohidrat pada produk perikanan sekitar 1 persen, kecuali pada jenis kerang-kerangan yang dapat mencapai 10%. Selama proses pengolahan, karbohidrat akan mengalami proses perubahan warna. Karbohidrat yang semula berwarna keputihan cenderung berubah menjadi kecoklatan. Proses perubahan ini lebih dikenal sebagai reaksi browning. Reaksi browning terdiri dari empat tipe, yaitu reaksi Maillard, karamelisasi, oksidasi vitamin C (asam askorbat), dan pencoklatan fenolase. 
Reaksi Maillard adalah reaksi pencoklatan non enzimatik. Rekasi ini terjadi karena kondensasi gugus amino dan senyawa reduksi menghasilkan perubahan kompleks. Reaksi Maillard terjadi bila bahan pangan mengalami pemanasan atau penyimpanan. Kebanyakan efek dari reaksi Maillard memang diharapkan, seperti aroma karamel, warna coklat keemasan pada roti. Namun beberapa reaksi Maillard yang menyebabkan warna kehitaman atau bau tidak sedap pada makanan memang tidak diharapkan. Perubahan warna pada bakso ikan yang memiliki warna spesifik putih bersih dan bakso udang yang berwarna merah muda memang tidak diharapkan. Efek browning yang terjadi pada daging berwarna merah relatif tidak terlihat. 
CONTOH :.  Browning Pada Alpukat (Sumber:
Reaksi enzimatis umumnya terjadi pada permukaan buah dan sayuran yang mengalami penyayatan. Pada permukaan sayatan, terjadi perubahan warna menjadi kecoklatan karena berlangsung oksidasi fenol menjadi ortokuin yang selanjutnya secara cepat akan mengalami polimerisasi membentuk pigmen coklat atau melanin.  4) Senyawa Kimia Pencemar  Pengertian senyawa kimia pencemar adalah senyawa kimia yang terkandung dalam bahan pangan, baik secara alami maupun pangan sengaja ditambahkan. Keberadaan senyawa kimia pencarem dalam bahan dapat mempengaruhi rasa dan kenampakan. Rasa dari bahan pangan yang tercemar senyawa kimia pencemar terasa agak menyimpang, tergantung dari senyawa kimia yang mencemarinya. Kenampakan beberapa bahan pangan yang tercemar senyawa kimia dapat dilihat dengan mudah. Tanaman kangkung yang mampu menyerap logam berat dan senyawa pencemar lainnya memiliki kenampakan hijau kehitaman, sedangkan jenis kerangkerangan yang memiliki kemampuan sebagai filter biologis terhadap logam
berat, daging-nya cenderung memiliki kenampakan merah kehitaman dan memiliki tubuh relatif lebih besar. Tabel 2. Senyawa Kimia yang Terkandung dalam Bahan Pangan dan Ambang Batasnya Senyawa Kimia  Pencemar  Tipe Produk  Ambang Batas  Mercury  Semua jenis ikan kecuali tuna beku dan segar, hiu, dan ikan pedang  0.5 ppm  Arsenik  Konsentrat protein ikan  3.5 ppm  Lead  Konsentrat protein ikan  0.5 ppm  Flouride  Konsentrat protein ikan  150 ppm  2,3,7,8 TCDD (dioxin)  Semua produk ikan  20 ppt  DDT dan metabolisme  Semua produk ikan  5.0 ppm  PCB  Semua produk ikan  2.0 ppm  Piperonyl butoksida  Ikan kering  1.0 ppm  Bahan kimia pertanian lainnya dan turunannya  Semua produk ikan  0.1 ppm  c. Kerusakan Biologis  Kerusakan biologis pada bahan pangan dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen dan pembusuk, baik berupa bakteri, virus, jamur, kamir ataupun protozoa. Kerusakan secara biologis terjadi secara alamiah yang biasa disebut pembusukan.  1) Burst belly 
CONTOH :.  Burst Belly Pada Ikan
Tubuh ikan mengandung banyak mikroba, terutama di bagian permukaan kulit, insang, dan saluran pencernaan. Ikan yang tertangkap dalam keadaan perutnya kenyang, maka disaluran pencernaan banyak mengandung enzim pencernaan. Enzim tersebut merupakan gabungan dari enzim yang berasal dari bahan pangan atau mikroba yang hidup disekelilingnya. Apabila tidak segera disiangi, enzim ini akan mencerna dan merusak jaringan daging yang ada disekitarnya, terutama di bagian dinding perut. Peristiwa pecahnya dinding perut ikan yang disebabkan aktivitas enzim dikenal dengan sebutan burstbelly. 2) Aktivitas mikroba merugikan  Kerusakan biologis yang dialami bahan pangan dapat disebabkan oleh adanya mikroba merugikan, bahan pangan sudah beracun, atau bahan pangan yang menjadi beracun. Mikroba pembusuk merupakan mikroba yang dapat menimbulkan kerusakan pada bahan pangan. Kerusakan biologis yang ditimbulkan oleh aktivitas mikroba merugikan adalah meningkatnya kandungan senyawa racun atau penyakit yang disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen. Tabel 3. Jenis Bakteri Pembusuk dan Bakteri Patogen
Mikroba patogen merupakan kelompok mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Bahan pangan yang mengandung mikroba patogen cenderung menjadi berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya. Mikroba pembusuk akan menyebabkan bahan pangan menjadi busuk sehingga tidak dapat atau tidak layak dikonsumsi. Mikroba pembusuk akan merombak bahan pangan menjadi komponen yang tidak diinginkan, seperti protein
No Bakteri Pembusuk  Bakteri Patogen  1.  2.  3.  4.  5.  6.  7.  8.  9.  10.  11.  12.  13.  Shewanella putrifaciens  Photobacterium phosphoreum  Pseudomonas spp.  Vibrionacaea  Aerobacter  Lactobacillus  Moraxella  Acinetobacter  Alcaligenes  Micrococcus  Bacillus  Staphylococcus  Flavobacterium  Bacillus cereus  Escherichia coli  Shigella sp.  Streptococcus pyogenes  Vibrio cholerae  V. parahaemolyticus  Salmonella spp.  Clostridium botulinum  C. perfringensabelnya mana  Staphylococcus aureus  Listeria monocytogenes 
yang diubah menjadi amonia dan hidrogen sulfida, karbohidrat menjadi alkohol, dan lemak menjadi keton dan asam butirat. Ciri khas dari peningkatan aktivitas mikroba pembusuk antara lain tercium bau busuk, bahan menjadi lunak berair dan masih banyak lainnya. d. Senyawa Racun  1) Bahan pangan sudah beracun  Beberapa bahan pangan diketahui sudah mengandung racun secara alami, sehingga bila dikonsumsi dapat menyebakan keracunan. 
a) Keracunan Ciguatera  Keracunan ciguatera banyak dialami bila mengkonsumsi ikan karang. Ikan ini beracun apabila mengkonsumsi makanan beracun dan menjadi tidak beracun setelah beberapa saat tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Jenis racun yang dikandung oleh ikan karang tersebut antara lain brevetoksin, dinofisis toksin, asam domoik, asam okadaik, pektonotoksin, aksitoksin, dan yessotoksin.  b) Tetrodotoxin  Tetrodotoksin adalah racun yang dikandung oleh ikan dari keluarga Tetraodontidae. Ikan ini diketahui mengandung racun di bagian gonad, hati, usus, dankulitnya. Sedangkan bagian dagingnya tidak mengandung racun. Jenis ikan yang dikenal mengandung tetrodotoksin ini adalah ikan buntal. Tetradotoxin juga dapat diisolasi dari spesies lain seperti ikan parrot, kodok dari genus Atelpus, oktopus, dan kepiting xanthid.  c) Keracunan Kerang  Keracunan kerang akan terjadi apabila mengkonsumsi kerang yang mengandung senyawa racun. Kerang bersifat biofilter, sehingga kerang yang hidup di perairan tercemar racun atau logam berat akan berpotensi sebagai penyebab keracunan.  2) Bahan pangan menjadi beracun  Bahan pangan yang semula tidak beracun dan aman dikonsumsi dapat berubah menjadi beracun karena alasan tertentu. Keracunan ikan tongkol yang sering terjadi banyak disebabkan karena ikan tongkol yang semula segar berubah menjadi beracun karena cara penanganan yang kurang baik. Daging berwarna merah pada ikan tongkol segar mengandung banyak asam amino histidin.  Proses penurunan mutu yang dalami ikan tongkol akan merombak histidin menjadi histamin. Senyawa histamin inilah yang dapat menyebabkan timbulnya rasa gatal, keracunan, dan bahkan mengakibatkan kematian. Masakan bersantan yang disajikan dalam keadaan panas cukup aman dikonsumsi. Namun bila masakan
tersebut yang sudah dipanaskan dibiarkan dalam keadaan tertutup, maka santan akan segera berubah menjadi senyawa beracun yang mematikan. 

Berubahnya bahan pangan yang semula aman dikonsumsi menjadi berbahaya bila dikonsumsi dapat dipengaruhi oleh: a) Pemanasan yang kurang sempurna sehingga memungkinkan mikroba merugikan tumbuh dan melaksanakan aktivitasnya b) Proses pendinginan yang kurang sempurna juga dapat memicu aktivitas mikroba merugikan. Proses pendinginan bahan pangan yang sudah dimasak tidak boleh lebih dari 4 jam. Hindari pula mempertahankan bahan pangan pada suhu dangerzone c) Infeksi pekerja jugadapat memicu perkembang-anmikroba merugikan d)  kontaminasi silang yang terjadi antara bahan pangan dengan bahan mentah yang merupakan sumber mikroba.
4.  Mencegah Penurunan Mutu  Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghambat penurunan mutu. Upaya tersebut dapat dilakukan sejak bahan pangan dipanen atau ditangkap, maupun selama pengolahan.  a. Selama Penanganan  Upaya kegiatan untuk menghambat penurunan mutu bahan pangan selama penanganan antara lain :  1) Precooling, yaitu proses penurunan temperatur bahan pangan dengan tujuan untuk memperkecil perbedaan antara temperatur bahan pangan dan ruang penyimpanan. Makin kecil perbedaan temperatur tersebut, akan mengurangi beban panas yang akan diterima oleh ruang penyimpanan dingin.  2) Penanganan steril, yaitu penanganan yang ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi silang atau kontaminasi ulang (recontamination). Penanganan steril dicirikan dengan penggunaan peralatan, lingkungan, dan karyawan yang steril.  3) Pencucian bahan pangan, ditujukan untuk mengurangi populasi mikroba alami (flora alami) yang terdapat dalam bahan pangan, sehingga populasinya tidak berpengaruh pada proses selanjutnya.  4) Penyiangan, yaitu proses membersihkan. Pada produk perikanan penyiangan berarti pembersihan sisik, pembuangan kepala (headless), pembuangan isi
perut (gutting), atau pembuangan kulit (skinning atau skinless). Pada produk buah-buah, penyiangan dilakukan dengan pengupasan (peeled).  5) Blansing, yaitu penggunaan suhu tinggi dalam waktu singkat untuk tujuan tertentu. Pada produk hewani, blansing dilakukan pada bagian yang dipotong untuk menghambat aktivitas mikroba dan enzim proteolitik. Pada produk buahbuahan, blansing dilakukan untuk menghilangkan lapisan seperti lendir penyebab bau busuk, mempertahankan warna alami, mengkerutkan atau melunakan tekstur sehingga mudah dikemas, atau mengeluarkan udara yang terperangkap dalam jaringan.  6) Fillet (Filleting) yaitu pemotongan daging sedemikian rupa sehingga tidak menyertakan bagian yang keras, seperti duri, tulang, atau kulit. Fillet banyak dilakukan pada produk perikanan dan unggas.  7) Pemisahan daging dari tulang atau kulit (meat bone separation) banyak dilakukan untuk mempermudah proses penanganan atau pengolahan lebih lanjut. Pemisahan ini dapat dilakukan dengan menggunakan tangan (manual) atau menggunakan mesin pemisah tulang (meat bone eparator). Produk yang dihasilkan adalah berupa daging cincang atau surimi. Surimi adalah ikan cincang yang telah ditambah zat anti denaturasi untuk mempertahankan kekenyalannya.  8)  Sortasi, yaitu Pemisahan komoditi selama dalam aliran komoditas, misalnya sortasi di lokasi pemanenan yang didasarkan pada jenis, ukuran yang diminta pasar.  9) Grading, yaitu proses pemisahan bahan pangan berdasarkan mutu, misalnya ukuran, bobot, kualitas. b. Selama Pengawetan  Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat penurunan mutu selama penanganan bahan pangan adalah :  1) Penggunaan suhu rendah, dalam bentuk pendinginan dan pembekuan. Pendinginan adalah penggunaan temperatur di bawah temperatur kamar tapi belum mencapai temperatur beku, biasanya berkisar pada 00-150C. Pembekuan adalah penggunaan temperatur di bawah temperatur beku, biasanya berkisar pada 00C hingga -600C.  2) Iradiasi, misalnya sinar gamma,untuk menghambat atau membunuh mikroba sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan.  3) Penggunaan bakteri antagonis yang ditujukan untuk menghambat atau membunuh bakteri pembusuk, sehingga masa simpan bahan pangan dapat diperpanjang. Penggunaan Lactobacillus plantarum dan bakteri lainnya sebagai
bakteri antagonis telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk sehingga dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan.  c. Selama Pengolahan  Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penurunan mutu selama pengolahan antara lain :  1) Suhu tinggi, yaitu penggunaan suhu tinggi untuk menghambat mikroba pembusuk atau mendenaturasi enzim. Penggunaan suhu tinggi dalam pengolahan bahan pangan antara lain:
 a) HighTemperature Short Time (HTST) telah digunakan untuk proses sterilisasi pada produk yang tidak tahan panas (susu misalnya) untuk membunuh mikroba pembusuk sehingga dapat memperpanjang masa simpan
b) Perebusan adalah proses pemanasan hingga suhu ± 1000C pada tekanan 1 tmosfir. Tujuan utama perebusan adalah untuk menurunkan populasi mikroba, mendenaturasi protein, dan menurunkan kadar air bahan pangan
c)  Penguapan adalah penurunan kadar air dalam bahan pangan dengan tujuan untuk mengurangi ketersediaan air didalam bahan pangan sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk untuk tumbuh dan beraktivitas. Prinsip dasar dari penguapan adalah penurunan kelembaban udara lingkungan sedemikian rupa sehingga akan menyebabkan cairan di dalam bahan pangan akan keluar dalam bentuk uap air. Selain dengan peningkatan suhu lingkungan, proses penguapan juga dapat dilakukan dengan menggerakan udara (angin) atau mengalirkan udara panas kepermukaan bahan pangan d)  Penggorengan adalah bentuk lain dari penggunaan suhu tinggi untuk mengolah bahan pangan. Tujuan penggorengan tergantung dari bahan pangan, misalnya untuk kemekaran (kerupuk), mengurangi kadar air (bawang).  2) Penurunan kadar air sehingga mikroba pembusuk akan mengalami kesulitan untuk tumbuh dan berkembang. Penurunan kadar air dilakukan dengan cara :   a) Pengeringan: pengeringan adalah proses menurunkan kadar air dalam bahan pangan berdasarkan perbedaan kelembaban, sehingga air yang tersedia tidak dapat dimanfaatkan oleh mikroba merugikan untuk tumbuh dan berkembang. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara penguapan, pemanasan, penganginan, dan pengeringan beku.  b) Tekanan: pengaturan tekanan dapat menurunkan kandungan air dalam bahan pangan. Bila tekanan lingkungan diturunkan (hipobarik), maka cairan yang ada di dalam bahan panganakan tertarik ke lingkungan. Bila tekanan lingkungan ditingkatkan hingga 2 atmosfir atau lebih (hiperbarik) maka bahan pangan akan tertekan sehingga cairannya akan keluar. 
3) Penambahan senyawa kimia, ditujukan untuk menghambat aktivitas mikroba pembusuk atau mendenaturasi enzim. Penambahan senyawa kimia dapat dilakukan dengan cara penambahan:  a) Asam: Penambahan asam dimaksudkan untuk menurunkan pH sehingga aktivitas mikroba pembusuk menurun. Asam yang digunakan dapat berupa asam benzoat, sorbat, propionat, sulfite, asetat, laktat, nitrat, dan asam citrat  b) Garam: Penambahan garam dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan tekanan osmosis antara di dalam bahan pangan dengan lingkungannya. Peningkatan tekanan osmosis di luar bahan pangan akan menyebabkan keluarnya cairan dari bahan pangan sehingga cairan di dalam bahan pangan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk menurun. Selain itu, terjadi proses masuknya komponen garam ke dalam bahan pangan. Ion Na+dan Cl- yang bersifat racun akan membunuh mikroba pembusuk dan menyebabkan proses denaturasi protein, termasuk enzim. c) Gula: Penambahan gula dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan tekanan osmotis antara bahan pangan dan lingkungannya. Perbedaan tekanan osmotisakan menyebabkan pergerakan cairan di dalam bahan pangan. Bila tekanan osmotis di luar lebih tinggi (hipertonis) maka cairan dari dalam bahan pangan akan keluar (plasmolisis), bila lebih rendah cairan akan masuk kedalam sel mikroba sehingga selakan pecah (plas-moptisis) d)  Antibakteri: Senyawa anti bakteri dapat menghambat atau membunuh bakteri. Proses pengasapan akan meningkatkan senyawa fenol yang bersifat anti bakteri. Selain meningkatkan senyawa anti bakteri, proses pengasapan juga akan menurunkan kandungan air bahan pangan, sehingga bakteri pembusuk terhambat pertumbuhannya; dan Gas: Penggunaan gas-gas tertentu telah dilakukan untuk meningkatkan penanganan dan pengolahan bahan pangan. Fumigasi merupakan penggunaan gas untuk membunuh mikroba merugikan yang mungkin ada di dalam bahan pangan. Penggunaan gas etilen telah lama dipraktekan untuk mempercepat munculnya warna kuning pada buah pisang.  4)  Fermentasi adalah proses perombakan senyawa kompleks menjadi senyawa lebih sederhana yang dilakukan oleh enzim dalam lingkungan terkendali. Enzim yang berperan dalam proses fermentasi dapat berasal dari bahan pangan itu sendiri, mikroba fermentasi, bahan nabati, dan enzim murni. Penggunaan enzim murni untuk proses fermentasi jarang dilakukan mengingat harganya yang mahal. Penggunaan mikroba fermentasi sebagai penghasil enzim membutuhkan pengendalian kondisi lingkungan sehingga hanya mikroba fermentasi yang tumbuh, sedangkan mikroba laiinya terhambat atau mati. Pengendalian kondisi
lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa asam, meningkatkan konsentrasi garam, atau meningkatkan populasi bakteri fermentasi. Pemilihan cara pengendalian lingkungan disesuaikan dengan bahan pangan yang akan difermentasi. Beberapa bahan nabati telah digunakan dalam proses fermentasi produk hewani. Bahan nabati tersebut diketahui mengandung enzim proteolitik. Bahan nabati tersebut misalnya papaya yang mengandung enzim papain, dan nenas yang mengandung enzim bromelain.  5. Pengendalian Produk yang Tidak Sesuai  Dalam sistem produksi harus dapat disingkirkan produk-produk yang tidak sesuai. Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan perusahaan mempunyai prosedur tertulis untuk mencegah terkirimnya produk-produk yang tidak sesuai kepada konsumen. Jika produk yang tidak sesuai terdeteksi pada tahap produksi, prosedur yang ada harus tidak membiarkan produk tersebut diproses lebih lanjut.  Setiap kegiatan atau sistem operasi dapat saja menyimpang dari kondisi operasi standar (prosedur) karena berbagai alasan sehingga menghasilkan produk yang tidak sesuai. Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan perusahaan mempunyai sistem institusional untuk memonitor kegiatan produksi atau proses. Jika ketidak sesuaian diketahui, tindakan koreksi harus dilakukan segera agar sistem operasi kembali kepada standar. a. Produk Cacat  Menurut Hansen & Mowen (2005), “Produk cacat adalah produk yang tidak sesuai dengan spesifikasinya. Menurut Bastian dan Nurlela (2010) yang menyatakan bahwa,“produk cacat adalah produk yang dihasilkan dalam proses produksi, dimana produk yang dihasilkan tersebut tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan, tetapi secara ekonomis produk tersebut dapat diperbaiki dengan mengeluarkan biaya tertentu, dalam hal ini perlu diperhatikan biaya yang dikeluarkan lebih untuk memperbaiki rendah dari nilai jual setelah produk tersebut diperbaiki”. Menurut Hansen/Mowen (2005), “Biaya mutu adalah biaya–biaya yang timbul karena mungkin telah terdapat produk yang buruk kualitasnya”. Menurut Firdaus Ahmad Dunia & Wasilah (2009), “Biaya mutu adalah biaya yang berkaitan dengan penciptaan, pengidentifikasian, perbaikan, dan pencegahan produk cacat”. Dengan demikian adanya produk cacat maka perusahaan perlu mengeluarkan biaya pengawasan mutu produk, sehingga dapat menghasilkan produk yang baik tanpa cacat. b. Nol cacat (Zero defects)  Sebuah filosofi kualitas didasarkan pada gagasan bahwa tingkat kualitas yang sempurna, sebagai tanpa cacat, dapat dicapai dan harus menjadi tujuan
perusahaan. Ini menekankan pemeriksaan dari semua faktor yang menyebabkan masalah kualitas versus sistem yang dibangun dalam tingkat kualitas rata-rata atau diterima. Cacat nol (zero defect) berarti semua produk yang diproduksi sesuai dengan spesifikasinya”.  Gerakan “zero defects” memiliki asumsi bahwa pandangan tentang cacat tidak semua orang sama. Oleh sebab itu cacat harus didefinisikan, diurutkan (diklasifikasikan) dari yang ringan sampai yang berat. Selanjutnya harus ditentukan strategi pengawasan untuk menghindarkan terjadinya cacat dan ditentukan langkahlangkah untuk perbaikan terhadap cacat ringan. Intinya merupakan gerakan menuju kesempurnaan.  Untuk menentukan keputusan cacat yang boleh dimaklumi dilakukan perhitungan statistik dengan selang (0-1000) atau permil (%0), tidak lagi menggunakan selang (0 -100) atau persen (%).
B. PENERAPAN HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Points)
HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Point) adalah sebuah metode operasi terstruktur yang dikenal secara internasional yang bisa membantu organisasi dalam industri makanan dan minuman untuk mengidentifikasi risiko keamanan pangan, mencegah bahaya dalam keamanan pangan, dan menyampaikan kesesuaian hukum. HACCP adalah keharusan di beberapa negara, termasuk Amerika Setikat dan Uni Eropa. Prinsip-prinsip dan petunjuk HACCP untuk penerapannya sudah diadopsi oleh Komisi Codex Alimentarius. Sistem HACCP berbasis pada pengetahuan dan mengidentifikasi bahaya spesifik dan pengendaliannya khusus untuk menjamin keamanan pangan. 
HACCP digunakan di seluruh tahapan proses produksi dan persiapan makanan. Seluruh organisasi yang berperan penting dalam rantai pasokan makanan bisa menerapkan prinsip-prinsip HACCP tanpa melihat ukuran dan lokasi geografis. HACCP sebagai alat manajemen yang membantu perusahaan dan organisasi menunjukan komitmen keamanan pangan kepada seluruh pemangku kepentingan dan menunjukkan bahwa segala persyaratan telah dipenuhi. HACCP dirancang untuk menyampaikan: 
• Komitmen; mengambil pendekatan resmi untuk memastikan keamanan pangan membantu Anda menunjukkan komitmen kepada para pemangku kepentingan melalui pemenuhan persyaratan legislasi (hukum) • Kepercayaan; pelanggan dan pemangku kepentingan akan melihat bahwa Anda melakukan pendekatan yang serius dan diatur dengan baik terkait keamanan pangan.  • Manfaat kompetitif; HACCP adalah sebuah pembedautama dan bisa membantu Anda menjadi salah satu pemasok pilihan.  • Meningkatkan efisiensi; jasa layanan sistem HACCP disediakan untuk melengkapi persetujuan ISO 9000, yang menghemat waktu dan biaya. 
Poin-poin HACCP satu persatu : • Pembelian dan penerimaan bahan. Bahan makanan yang diperlukan harus di beli dari toko atau suplier yang memang sudah terbukti menjamin kebersihan dan kualitas makanan. Proses pengiriman yang tepat, sebagai contoh bahan segar harus dikirim dan dijaga suhunya minimal 5'C dan bahan makanan beku minimal -18'C. Sebelum diterima cek setiap barang apakah memang kualitasnya baik? Apakah belum expired/kadaluwarsa? Bahan kalengan sebaiknya tidak diterima bila kalengnya sudah pecok-pecok. Begitu juga yang botolan, pastikan botolnya masih mulus dan tidak menggelembung.
• Penyimpanan bahan. Cara menyimpan bahan-bahan makanan harus dilakukan dengan tepat sesuai prosedurnya. Tujuannya untuk menjaga kualitas bahan-bahan makanan agar tidak rusak sebelum diolah, dan mencegah terjadinya pencemaran terhadap makanan (food poisoning), sehingga nantinya dapat menghasilkan makanan yang sehat bagi customers. Baca selengkapnya mengenai hal-hal yang harus diperhatikan mengenai penyimpanan makanan di Storage of Food.
• Pengolahan makanan. Mengkonsumsi makanan yang sehat jauh lebih penting dari mengkonsumsi makanan yang enak. Untuk itu kita harus tahu cara mengolah makanan yang tepat. Selengkapnya bisa dilihat disini.
• Penyajian makanan. Makanan dingin harus disajikan dalam keadaan dingin yaitu maksimal 5'C. Dan makanan panas harus disajikan minimal pada suhu 60'C. Disamping itu Personal Hygiene dari food handler harus dilaksanakan dengan tepat.
• Sanitasi area kerja. Three Bucket System merupakan cara yang paling efektif dalam menjaga kesehatan lingkungan kerja/ area kitchen atau dapur.  Meliputi: 1. Wash, yaitu mencuci dengan sabun yang dicampur dengan air panas. 2. Rinse, yaitu membilas dengan air panas. 3. Sanitize, mematikan kuman-kuman dengan disinfectan atau larutan khlorin.
• Pest Kontrol. Merupakan cara untuk mengendalikan penyakit agar tidak mengkontaminasi bahan makanan yang dapat disebarkan oleh binatang seperti kecoa, semut, lalat,ulat dan sebagainya. Biasanya menggunakan ahli pest kontrol untuk melakukan hal ini.
Ada tiga pendekatan penting dalam pengawasan mutu pangan:
1. Food Safety/Keamanan Pangan Aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit atau   bahkan kematian. Masalah ini umumnya dihubungkan dengan masalah biologi, kimia dan fisika
2. Wholesomeness/Kebersihan Merupakan karakteristik-karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan hygiene.
 3. Economic Fraud /Pemalsuan Adalah tindakan-tindakan yang illegal atau penyelewengan yang dapat merugikan pembeli. Tindakan ini mencakup diantaranya pemalsuan species (bahan baku), penggunaan bahan tambahan yang berlebihan, berat tidak sesuai dengan label, overglazing dan jumlah komponen yang kurang seperti yang tertera dalam kemasan. 
 MANFAAT  HACCP
1.  Menjamin keamanan pangan - Memproduksi produk pangan yang aman setiap saat;
- Memberikan bukti sistem produksi dan penganganan aproduk yang aman; - Memberikan rasa percaya diri pada produsen akan jaminan keamanannya; - Memberikan kepuasan pada pelanggan akan konformitasnya terhadap standar nasional maupun internasional. 2. Mencegah kasus keracunan pangan, sebab dalam penerapan sistem HACCP bahaya-bahaya dapat diidentifikasi secara dini, termasuk bagaimana tindakan pencegahan dan tindakan penanggulangannya. 3. Mencegah/mengurangi terjadinya kerusakkan produksi atau ketidakamanan pangan, yang tidak mudah bila hanya dilakukan pada sistem pengujian akhir produk saja. 4. Dengan berkembangnya HACCP menjadi standar internasional dan persyaratan wajib pemerintah, memberikan produk memiliki nilai kompetitif di pasar global. 5. Memberikan efisiensi manajemen keamanan pangan, karena sistemnya sistematik dan mudah dipelajari, sehingga dapat diterapkan pada semua tingkat bisnis pangan.
  Tujuh  Prinsip HACCP
HACCP merupakan suatu sistem yang dilakukan untuk mengidentifikasi bahaya tertentu dan tindakan pencegahan yang perlu dilakukan untuk pengendaliannya. Sistem ini terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut:   PRINSIP 1 :Mengidentifikasi potensi bahaya yang berhubungan dengan produksi pangan pada semua tahapan, mulai dari usaha tani, penanganan, pengolahan di pabrik dan distribusi, sampai kepada titik produk pangan dikonsumsi.  Peningkatan kemungkinan terjadinya bahaya dan menentukan tindakan pencegahan, untuk pengendaliannya.
PRINSIP 2 Menentukan titik atau tahap prosedur operasional yang dapat dikendalikan untuk menghilangkan bahaya atau mengurangi kemungkinan terjadi bahaya tersebut. CCP (Critical Control Point) berarti setiap tahapan di dalan produksi pangan dan /atau pabrik yang meliputi sejak bahan baku yang diterima, dan/atau diproduksi, panen, diangkut, formulasi, diolah, disimpan dan lain sebagainya.
PRINSIP 3 Menetapkan batas kritis yang harus dicapai untuk menjamin bahwa CCP berada dalam kendali.
PRINSIP 4 Menetapkan sistem pemantauan pengendalian (monitoring) dari CCP dengan cara pengujian atau pengamatan.

PRINSIP 5 Menetapkan tindakan perbaikan yang dilaksanakan jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa CCP tertentu tidak terkendali.

PRINSIP 6 Menetapkan prosedur verifikasi yang mencakup dari pengujian tambahan dan prosedur penyesuaian yang menyatakan bahwa sistem HACCP berjalan efektif.
PRINSIP 7 Mengembangkan dokumentasi mengenai senua prosedur dan pencatatan yang tepat untuk prinsip-prinsip ini dan penerapannya.   Konsep HACCP Menurut Codex Alimentarius Commision (CAC) Konsep HACCP menurut CAC terdiri dari 12 langkah, dimana 7 prinsip HACCP tercakup pula di dalamnya. Langkah-langkah penyusunan dan penerapan sistem HACCP menurut CAC adalah sebagi berikut :
Langkah 1, Pembentukan Tim HACCP Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP adalah membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan yang aman. Tim HACCP sebaiknya terdiri dari individu-individu dengan latar belakang pendidikan atau disiplin ilmu yang beragam, dan memiliki keahlian spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan, misalnya ahli mikrobiologi, ahli mesin/ engineer , ahli kimia, dan lain sebagainya sehingga dapat melakukan brainstorming dalam mengambil keputusan. Jika keahlian tersebut tidak dapat diperoleh dari dalam perusahaan, saran-saran dari para ahli dapat diperoleh dari luar.
Langkah 2, Deskripsi produk Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk, termasuk jenis produk, komposisi, formulasi, proses pengolahan, daya simpan, cara distribusi, serta keterangan lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara luas dan komprehensif.
Langkah 3, Identifikasi Pengguna yang Dituju Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya kelompok balita atau bayi, kelompok remaja, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.
Langkah 4 Penyusunan Diagram Alir Proses Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan dihasilkannya produk jadi untuk disimpan. Pada beberapa jenis produk, terkadang disusun diagram alir proses sampai dengan cara pendistribusian produk tersebut.
Langkah 5, Verifikasi Diagram Alir Proses Agar diagram alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan di lapangan, maka tim HACCP harus meninjau operasinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
Langkah 6, Analisa Bahaya (Prinsip 1) Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi, hingga tahap penggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah
untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen. Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya.
Langkah 7, Penetapan Critical Control Point (Prinsip 2) CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan. Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji dengan menggunakan CCP decision tree untuk menentukan CCP.
Langkah 8, Penetapan Critical Limit (Prinsip 3) Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara "yang diterima" dan "yang ditolak", berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah dapat dijustifikasi, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi maupun kimia, CODEX dan lain sebagainya. Untuk menetapkan CL maka pertanyaan yang harus dijawab adalah : apakah komponen kritis yang berhubungan dengan CCP? Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus dikendalikan untuk menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut. 
Langkah 9, Prosedur Pemantauan CCP (Prinsip 4) Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan pengamatan terencana dan terjadwal terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP dan CL untuk menjamin bahwa CL tersebut menjamin keamanan produk. CCP dan CL dipantau oleh personel yang terampil serta dengan frekuensi yang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan, misalnya kepraktisan. Pemantauan dapat berupa pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu checklist atau pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu datasheet. Pada tahap ini, tim HACCP perlu memperhatikan mengenai cara pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau dan orang yang melakukan pemantauan.
Langkah 10, Penetapan Tindakan Koreksi (Prinsip 5) Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan, sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk ditahan/tidak dipasarkan dan diuji keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan selain menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi produk dan kerja ulang produk, serta tindakan pencegahan seperti memverifikasi setiap
Langkah 11, Verifikasi Program HACCP (Prinsip 6) Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Beberapa kegiatan verifikasi misalnya: penetapan jadwal inspeksi verifikasi yang tepat ,pemeriksaan kembali rencana HACCP ,Pemeriksaan catatan CCP , Pemeriksaan catatan penyimpangan dan disposisi inspeksi visual terhadap kegiatan untuk mengamati jika CCP tidak terkendalikan. Pengambilan contoh secara acak Catatan tertulis mengenai inspeksi verifikasi yang menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP, atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi yang dilakukan. Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika ada informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi keracunan makanan oleh produk tersebut.
Langkah 12, Perekaman Data/Dokumentasi (Prinsip 7) Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP, CL, rekaman pemantauan CL, tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya. Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga digunakan oleh operator
  Penentuan CCP Penetapan Critical Control Point (Prinsip 2) merupakan salah satu prinsip dari HACCP. CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan. Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji dengan menggunakan CCP decision tree untuk menentukan CCP.  Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus dikendalikan untuk menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut. CCP atau Titik Pengendalian Kritis Adalah titik-titik di mana bahaya dapat tetap terkontrol.  Kontrol ini dapat berarti bahwa suatu bahaya dihilangkan; misalnya dengan pasteurisasi atau merebus sebuah produk yang mungkin mengandung Salmonella, atau pengepakan yang suci hama untuk mencegah kontaminasi ulang pada makanan yang telah mengalami proses pemanasan. Ini disebut TPK1.  TPK2 adalah titik dimana sebuah bahaya dapat diminimalkan atau dikurangi tanpa jaminan pemusnahan bahaya.  Disini masih terdapat sedikit bahaya terhadap kontaminasi ulang, tetapi dengan resiko yang masih dapat ditolerir, atau dimana pencemar jumlahnya sangat rendah.Setiap titik pengendalian membantu meyakinkan keamanan pangan, tetapi hanya titik-titik dimana pengendalian penuh dapat diterapkan dan kritis bagi keamanan produk. Beberapa titik-titik lain merupakan bagian dari GMP (Good Manufacturing Practices/Cara Produksi Makanan yang Baik). Identifikasi CCP dapat dilakukan dengan menggunakan pengetahuan tentang:
   proses produksi –    potensi bahaya –    signifikansi bahaya Untuk membantu menemukan dimana seharusnya CCP yang benar, Codex Alimentarius Commission GL/32 1998, telah memberikan pedoman → Diagram Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree) Diagram pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang menanyakan setiap bahaya dan jawaban dari setiap pertanyaan tersebut akan memfasilitasi  Tim HACCP secara logis menetapkan CCP. Untuk membantu menemukan dimana seharusnya CCP yang benar, Codex Alimentarius Commission GL/32 1998, telah memberikan pedoman → Diagram Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree). Diagram pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang menanyakan setiap bahaya dan jawaban dari setiap pertanyaan tersebut akan memfasilitasi  Tim HACCP secara logis menetapkan CCP.
Bagaimana Menentukan Bahaya dan Critical Control Point (CCP)
Kita telah mendefinisikan istilah-istilah yang didiskusikan dalam HACCP dan kini kita akan menerapkannya pada contoh yang sederhana. Mengidentifikasi bahaya dan titik-titik kendali kritis (critical control point) adalah akar dari HACCP. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan metoda bagan keputusan. Pada bagian ini, kita harus membahas tentang bagan keputusan dan menjabarkan keterangan yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan dan mengambil sikap terhadap macam keputusan-keputusan tersebut.
CCP dan Pengendaliannya
Definisi: tahap di dalam proses yang apabila tidak terawasi dengan baik, memungkinkan timbulnya ketidakamanan pangan, kerusakan, dan resiko kerugian ekonomi
Tahap kunci dalam pengendalian bahaya
1. Identifikasi CCP dapat dilakukan dengan menggunakan pengetahuan tentang:
- proses produksi  - potensi bahaya  - signifikansi bahaya
 Untuk membantu menemukan dimana seharusnya CCP yang benar, Codex Alimentarius Commission GL/,  telah memberikan pedoman → Diagram Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree)Diagram pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang menanyakan setiap bahaya dan jawaban dari setiap pertanyaan tersebut akan memfasilitasi Tim HACCP secara logis menetapkan CCP
2. Decision tree (Codex Alimentarius Commission GL/32 1998) 
3.Jenis pohon keputusan yang lainnya
Di samping menurut codex juga ada jenis pohon keputusan lainnya.Pada jenis ini pohon keputusan digolongkan menjadi 3Pohon keputusan bahan bakuPohon keputusan formulasiPohon keputusan tahapan proses 4. Tahap 8. Penetapan batas kritis Merupakan batas-batas kritis pada CCP yang ditetapkan berdasarkan: - referensi - standar teknis - obesrvasi Batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP Kriteria yang sering dipergunakan -Suhu -Waktu -Kelembaban -pH - Aw -Kadar chlorine - Parameter yang berhubungan dengan panca indra seperti kenampakan dan tekstur.  Batas kritis menunjukkan perbedaan antara kondisi yang aman dan tidak aman sehingga proses produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman 5. Beberapa contoh batas kritis fisik Batas kritis harus mudah diidentifikasi dan dijaga oleh operator proses produksi Batas kritis diusahakan dalam bentuk: - batas kritis fisik, dan jika tidak memungkinkan baru mengarah pada kimia atau mikrobiologi.  Beberapa contoh batas kritis fisik: - tidak adanya logam - ukuran mesh ayakan - Suhu - waktu, - unsur-unsur uji organoleptic
Contoh batas kritis kimia - pH Aw - kadar klorinAlergendan lain-lain

Penetapan batas kritis dapat dilakukan berdasarkan beberapa sumber: Data yang sudah dipublikasi (Codex, ICMSF, FDA, DepKes, Deperindag, dll.) Advis pakar : konsultan, asosiasi penelitian, perusahaan peralatan, pemasok bahan kimia pembersih, ahli mikrobiologi, toksikologis, dll. Data eksperimental (eksperimen pabrik, pemeriksaan mikrobiologis spesifik dari produk dan ingridien)Modelling matematik : simulasi komputer terhadap karakteristik ketahanan hidup dan pertumbuhan dari bahaya mikrobiologis dalam sistem pangan Contoh Critical Limit Pada CCP - Komponen Kritis - Proses Sterilisasi Makanan Kaleng - Suhu awal - Berat kaleng setelah diisi - Isi kaleng.  - Pemanasan hamburger - Tebal hamburger - Suhu pemanasan - Waktu pemanasan - Penambahan asam ke minuman asam - PH produk akhir - Deteksi logam pada pengolahan biji-bijian - Kalibrasi detektorSensitivitas detektor

D. DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E. 2008. Pengawasan Mutu Bahan/Produk Pangan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Dasar Pengendalian Mutu Hasil Pertanian dan Perikanan, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Kementerian Pendidikan dan Budaya, 2014.







 




Komentar

Posting Komentar